Ngopi sambil bincang literasi di Smart Library Garden Cimahi, bersama Ketua Forum Taman Baca Cimahi dan pegiat buku dan penulis novel warga Cimahi Didin Kamayana Tulus. Salah satu penulis yang bukunya akan dibedah dalam even agenda Forum TBM merayakan 80 tahun Indonesia Merdeka, salah satu ihtiar menyalakan lentera cahaya di jalan sunyi literasi Cimahi.
Dari diskusi nyantai bertiga sambil ngopi, mendapatkan makna pencerahan bahwa Literasi bukan sekadar soal membaca, juga mampu untuk membangkitkan nurani mencintai bumi. Melalui literasi, kita diajak merasakan jeritan tanah dan sungai yang tercemar, rindu hutan yang hijau dan lebat, dan harapan langit yang biru.
Berharap forum taman baca Cimahi dapat menjadi muadzin, penyeru dan menjadi media edukasi peduli lingkungan yang efektif — untuk menanam kesadaran, menyalakan kepedulian, dan menuntun kita semua beraksi nyata demi bumi yang lestari.
Membaca Sebagian dari pdf buku kang Didin, saya tergerak untuk memberi catatan inspiratif, agar dapat menjadi referensi media edukasi lingkungan. Berikut saya kutip prolog dari buku kang Didin :

“Tragedi Leuwigajah pada 21 Februari 2005
adalah luka kolektif yang terlalu cepat diredam
dan terlalu pelan diceritakan.
Buku ini bukan tentang data. Bukan pula tentang bencana
sebagai tontonan statistik. Ini adalah tentang
manusia. Tentang suara yang tertimbun, dan
upaya sederhana untuk menggali kembali
makna dari tumpukan terakhir.
Saya menulis ini dengan hati yang berkali-kali
dipatahkan oleh diam. Tapi justru dari diam
itulah, saya menemukan bahwa suara-suara
paling jujur tidak berteriak. Mereka berbisik—
dan berharap didengar.
Buku ini adalah usaha kecil untuk menampung
bisikan itu. Semoga cukup bagi siapa pun yang
membacanya untuk menyadari: tragedi tidak
selalu datang dari ledakan. Kadang ia datang
dari kelalaian yang dirayakan ”
Dengan segala kerendahan hati,
Didin Tulus
Terinspirasi dari tulisan kang Didin, sepertinya kita harus memaknai “Sampah bukan sekadar sisa, tapi nafas kehidupan yang tersisa ; setiap tumpukan adalah surat yang belum sampai ke meja kesadaran. Manusia lupa, namun tanah tak pernah lupa — bau busuk yang kita anggap nasib sejatinya adalah tangisan bumi yang tak dimengerti. Ledakan itu bukan awal, melainkan titik koma dari kelalaian panjang yang selalu kita dirayakan.
Tumpukan sampah yang menggunung telah menjadi altar diam, tempat doa-doa keserakahan dipersembahkan tanpa malu. Mereka yang tertimbun bukan sekadar jasad, melainkan puisi yang terpotong sebelum bait terakhir sempat dirayakan.
Langit tak pernah benar-benar biru di atas tanah yang menanggung beban kotor, dan sampah yang ditumpuk diam-diam berdoa menjadi bom waktu — menunggu detik di mana kita dipaksa membaca ulang semua kesalahan kita sendiri.
Dari luka kita harus belajar, dan bersuara keras menebus luka dengan mewujudkan Cimahi Zero TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Sebuah visi yang bukan sekadar jargon podium, konten pencitraan apalagi modus mendapatkan cuan. Tetapi panggilan moral kemanusiaan bagi semua pihak — utamanya pemerintah kota, akademisi, komunitas, unsur bisnis dan media hingga seluruh warga Cimahi.
Zero TPA bukan hanya soal menutup TPA, harus dimaknai besar untuk mengubah pola pikir kita dari “membuang” menjadi “mengelola dan mengurangi ”. Pengelolaan sampah tuntas di tempat harus menjadi budaya bersama. Karena hanya dengan kesadaran kolektif, tragedi tak lagi harus diulang, dan bumi kita bisa bernapas lega
Tragedi Leuwigajah bukan sekadar bencana lingkungan; ia adalah peringatan keras tentang kelalaian yang dirayakan sebagai kemajuan. Ledakan itu bukan awal, melainkan puncak dari akumulasi kebiasaan buruk yang dinormalisasi. Kita seringkali lupa, di balik setiap karung sampah yang dibuang, ada konsekuensi panjang yang menunggu meledak.
Harapan Cimahi Zero TPA bukan basa-basi, tapi wujud keberanian untuk tidak lagi menutup mata pada sejarah. Tidak ada lagi alasan menunda, tidak ada lagi alasan bersembunyi di balik retorika kebijakan. Karena tragedi tidak selalu datang dari ledakan besar; kadang ia lahir dari kelalaian yang kita rayakan setiap hari.
Dari luka Leuwigajah, kita seharusnya belajar: jangan lagi ada suara yang tertimbun, jangan lagi ada bisikan yang tak didengar. Mari kita dengar suara bumi, dengar suara masa depan, dan wujudkan Cimahi sebagai kota peradaban yang benar-benar bernapas tanpa tumpukan luka.
Membangun peradaban bukan hanya soal gedung tinggi atau jalan lebar. Lebih dari itu, membangun peradaban berarti menanam nilai, menumbuhkan kebijaksanaan, dan memanen keteladanan. Mari kita setia pada jalan sunyi ini. Terus menyalakan lilin-lilin kecil literasi, hingga gelap tersingkap.
Karena setiap buku yang dibaca adalah doa untuk masa depan. Setiap kalimat yang ditulis adalah amal jariyah yang mengalir. Literasi adalah zikir akal. Menulis adalah ibadah diam. Dan merawat literasi adalah jalan sunyi yang penuh cahaya.
Cimahi sebagai Kota Peradaban tidak cukup dibangun hanya dengan infrastruktur megah dan teknologi canggih. Kota peradaban harus dibangun dari dalam: dari akal yang tercerahkan, hati yang lembut, dan tangan yang mau menulis serta menebar kebaikan.
Mari kita setia menanam inspirasi. Satu buku, satu benih. Satu diskusi, satu tunas. Karena setiap inspirasi yang kita tebar hari ini, kelak akan tumbuh menjadi pohon gagasan yang rindang, menaungi generasi yang akan datang.
“Iqra!” — Bacalah! Seruan agung itu menggema di gua Hira, menembus gelapnya malam, membelah sunyi, mengguncang jagat manusia. Bacalah, bukan sekadar perintah, tetapi panggilan suci untuk merawat akal, menyalakan nurani, dan membangun peradaban.
Bangkitlah para pejuang literasi! Karena bangsa ini tak butuh sekadar gedung megah, tetapi jiwa-jiwa yang tercerahkan. Mari kita jawab seruan “Iqra!” — agar Cimahi bukan hanya dikenal sebagai kota militer atau kota industri, tetapi juga kota yang beradab, beriman,berilmu, dan berakhlak. Semoga !
Penulis : Dr. Eki Baihaki, M.Si
Pembina Forum Taman Baca Cimahi, dosen Pascasarjana UNPAS
Discussion about this post