Sabtu, Oktober 4, 2025
kampungcendekia.id
Advertisement
  • Beranda
  • Kabar
  • Pustaka
  • Video
  • Artikel
    • Magrib Mengaji
    • Peduli Lingkungan
    • Kerukunan Beragama
    • Kesehatan Holistik
    • Bersih Narkoba
    • Pembauran Kebangsaan
    • Pemberdayaan UMKM
  • Pojok Literasi
  • Info
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Pustaka
  • Video
  • Artikel
    • Magrib Mengaji
    • Peduli Lingkungan
    • Kerukunan Beragama
    • Kesehatan Holistik
    • Bersih Narkoba
    • Pembauran Kebangsaan
    • Pemberdayaan UMKM
  • Pojok Literasi
  • Info
No Result
View All Result
kampungcendekia.id
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Pustaka
  • Video
  • Artikel
  • Pojok Literasi
  • Info
Home Artikel Pojok Literasi

Merasionalkan MBG, Membenahi BGN

Kampung Cendekia by Kampung Cendekia
Oktober 1, 2025
in Pojok Literasi
0 0
Merasionalkan MBG, Membenahi BGN
2
VIEWS

KURANG dari sebulan ini Sekolah Dasar (SD) anak saya menerima program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Kata Nida, anak saya, sebagian besar tak habis dimakan. Mereka bawa wadah dari rumah. Makanan tak habis dibawa pulang. Dibuang atau jadi pakan ayam.

Saya tanya mengapa tak habis? Jawabnya, karena tidak suka dan tidak enak. Sempat beberapa kali ia kirim foto makanannya, memang terlihat tak sedap dimakan. Itu hanya sepenggal kisah kecil MBG di lapangan.

Belum termasuk kasus keracunan massal di beberapa kota/kabupaten yang saat ini mencapai 7.368 korban (Kompas TV, 29/9). Kejadian ini membuat saya menjadi peduli dan juga khawatir.

Tentu saja Presiden Prabowo Subianto tak pernah mengira program favoritnya bakal berlika-liku. Dengan banyak kasus, mungkin program ini perlu ditinjau dan dirasionalkan.

Agar niat baik tak jadi malapetaka. Agar tujuan besar benar-benar dapat dicapai. Sasaran Di tengah fiskal yang ketat dan seabrek program lain, MBG nampaknya perlu dirasionalkan dari sisi penerima. Nampaknya ada jarak antara Presiden dengan masyarakat.

Seperti pernyataannya tempo lalu, “Mungkin kita-kita ini makan lumayan, mereka tuh makannya hanya nasi pakai garam. Ini yang harus kita kasih”, katanya (Kompas.com, 28/9).

Pertama bahwa pernyataan itu terlalu hiperbolis dengan membayangkan makan “hanya nasi pakai garam”. Dulu ketika saya kecil, betul, saya pernah makan nasi pakai garam plus air dan kelapa parut. Sekarang, nampaknya jumlahnya sedikit.

Pemahaman hiperbolis itu membuat seolah program ini memiliki derajat urgensi tinggi. Hingga, misalnya, mengambil 44,2 persen alokasi anggaran pendidikan (Kompas.com, 28/9).

Yang pada sisi lain kita masih punya masalah serius seperti kualitas guru serta sarana prasarana pendukung.

Kedua, justru berangkat dari pernyataan Presiden itu, MBG perlu menyasar kelompok penerima dengan tepat. Ya, bagi anak-anak dari keluarga yang “makan nasi pakai garam”. Mereka adalah keluarga Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang berada di desil 1 sampai 5.

Kata anak saya, ada satu temannya yang selalu habiskan sajian MBG. Ternyata profilnya memang dari keluarga MBR. Boleh jadi MBG memang dibutuhkan dan mendesak bagi mereka.

Namun bagi anak saya dan keluarga lain, tidak. Rasionalisasi di titik ini akan turunkan jumlah penerima. Ujungnya, kebijakan menjadi tepat sasaran. Di sisi lain anggaran dapat diturunkan dan direalokasi ke kebutuhan yang lebih urgen.

Skema

Skema penyaluran MBG juga dapat ditinjau kembali. Pola sekarang di mana Badan Gizi Nasional (BGN) orkestrasi langsung melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), timbulkan banyak masalah. Kantin serta pedagang di sekitar sekolah menjerit.

Omzet mereka terkoreksi. Satu sisi MBG ingin ciptakan lapangan kerja, sisi lain justru ciutkan ekonomi yang ada. Pendekatan ini ciptakan crowding out, di mana investasi atau belanja Pemerintah justru menekan sektor swasta.

Baca Juga  Forum Taman Baca Cimahi : Menyalakan Literasi, Menyemai Peradaban

Untuk wilayah seluas Indonesia, saya kira BGN bisa kembangkan seribu pola berbeda. Tentu yang sudah berjalan, penyaluran melalui SPPG tetap dapat dilakukan. Pola lain perlu dicoba untuk genapi lubang dari sistem yang ada.

Pertama, melalui transfer tunai ke orangtua. Sebab tanpa melalui SPPG, BGN bisa berikan Rp 15.000/siswa/hari. Untuk pastikan orangtua belanja dengan tepat, caranya mudah.

Cukup wajibkan siswa bawa bekal makan siangnya. Lalu guru bisa bantu periksa/verifikasi bekal itu. Memastikan bahwa di dalamnya ada sejumlah karbohidrat, protein nabati dan hewani. Tak ketinggalan buah serta susu.

Dengan cara begitu, orangtua akan sajikan makanan yang disukai anak dan sesuai ketentuan. Efek lainnya, uang akan berputar di warung-warung tetangga serta pasar lokal.

Kedua, voucher belanja. Bila pola pertama BGN transfer tunai ke orangtua, pola kedua ini orangtua hanya terima voucher.

Voucher hanya bisa ditukarkan untuk beli sembako sajian MBG. Tujuannya memastikan dana dibelanjakan dengan benar, tidak bocor.

Penukaran voucher bisa dilakukan seminggu sekali di warung tetangga atau pedagang pasar. Mereka bisa cairkan ke bank-bank Himbara.

Efeknya, ekonomi lokal juga terkerek naik tanpa kebocoran. Ketiga, voucher makan. Pola ini bisa dilakukan bekerjasama dengan kantin, warung atau rumah makan sekitar.

Siswa diberikan voucher makan (fisik atau digital) yang dapat ditukar dengan sajian. Sejauh ini, kantin, warung atau rumah makan, yang belum bersertifikasi pun, tak pernah timbulkan masalah keracunan. Namun, BGN bisa saja syaratkan itu bagi mereka.

Pola ini juga akan ciptakan putaran ekonomi di lokal. Kantin tetap beroperasi dengan menu yang makin bergizi. Warung dan rumah makan peroleh omzet tambahan. Pada gilirannya, para pemasok menikmati peningkatan pendapatan juga.

Keempat, dapur komunitas. Dapur-dapur ini dibuat kecil berbasis dasawisma. Ibu-ibu PKK menjadi motor penggerak.

Dipastikan mereka akan racik menu bergizi sekaligus enak bagi putra-putri mereka. Sebab dikelola oleh ibu PKK, mereka tak akan cari laba.

Namun, bila masih ada sisa saldo, bisa mereka manfaatkan untuk kegiatan sosial di lingkungannya. Pola ini juga perkuat modal sosial, pertinggi literasi gizi, serta kepedulian terhadap anak-anak di lingkup RT.

Kelima, koperasi desa. Program ini dapat dikawinkan dengan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Polanya tak beda jauh dengan dapur komunitas di mana dapur diselenggarakan secara komunal dengan skala kecil.

Efeknya koperasi-koperasi desa dapat langsung beroperasi. Signifikansi mereka di tengah masyarakat meningkat.

Bila masih ada sisa saldo, atau yang disebut dengan Sisa Hasil Usaha (SHU), dapat dibagikan kepada warga atau ditujukan bagi pengembangan desa.

Kelima pola di atas dapat menggenapi model SPPG terpusat. Satu sisi tingkatkan putaran uang di lokal, sisi lain perkuat partisipasi masyarakat.

Jadilah nilai ekonomi dari MBG yang super besar itu, tak hanya dinikmati para investor besar pemilik dapur.

Baca Juga  Senja yang Tak Pernah Padam, Tetap Menyala

Kelembagaan

Sebagai badan baru, BGN nyaris tak miliki kaki-kaki di daerah. Tanpa kaki, implementasi tersendat.

Di tengahnya banyak pihak “yang ingin membantu” menjadi kaki, membuka peluang rent seeking. Muncullah banyak makelar program, yang tentu saja tak ada makan siang gratis bagi mereka.

Pada sisi pemantauan, kecepatan dan intensitas juga berkurang. Tak efisien bila terjadi masalah, tim BGN terbang dari Jakarta ke daerah.

Dengan cakupan yang luas, hal itu akan membengkakkan anggaran. Bayangkan program dengan tujuan meningkatkan gizi anak dan menurunkan stunting ini dikolaborasikan dengan, misalnya, Dinas Kesehatan (Dinkes).

Pertama mereka miliki kompetensi hal ihwal kesehatan dan gizi. Kedua, setiap kota/ kabupaten sudah miliki Dinkes dengan birokrasi dan infrastruktur.

Bila dikhawatirkan terjadi kebocoran, lima skema di atas dapat digunakan. Lalu Dinkes bisa fokus pada aspek pemantauan kualitas sajian dan pemantauan dampak. Bekerjasama dengan PKK atau Posyandu, mereka dapat pantau peningkatan berat badan, berkurangnya anak sakit dan seterusnya. Skenario kelembagaan ini perlu dipikirkan sebagai opsi untuk menambal kekurangan yang ada.

Misalnya, media mengabarkan bahwa 10 pejabat BGN saat ini tak miliki latar belakang gizi. Justru banyak di antaranya pensiunan TNI-Polri (Kompas.com, 27/9). Padahal jelas-jelas tugas, fungsi dan program utamanya adalah tingkatkan gizi anak.

Steph Subanidja, Guru Besar Institut Perbanas, dalam kolomnya membabar dampak soal lemahnya eksekusi program pembangunan Pemerintah (Kompas.com, 16/9).

Menyitir laporan Bank Dunia, execution gap menyebabkan hilangnya potensi pertumbuhan 1,2 persen setiap tahun.

Sebagai gambaran, masih menurutnya, 30 persen proyek strategis 2015-2023 mengalami keterlambatan. MBG pun bisa senasib. Gejalanya sudah terlihat. Dari anggaran Rp 71 triliun, baru terserap 18,3 persen (Kompas.com, 23/9).

Soal lemahnya eksekusi secara umum berpengaruh pada produktivitas ekonomi. Sebab setiap rupiah APBN miliki efek pengganda multi-sektor. Pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan lainnya.

INDEF dalam laporannya menyatakan MBG tunjukkan dampak ekonomi besar (Oktober, 2024).

Mereka menilai program dapat dorong pertumbuhan PDB sebesar 0,06 persen. Kemudian tingkatkan serapan tenaga kerja sebesar 0,19 persen serta upah sebesar 0,39 persen.

Pendapatan bersih UKM mitra juga meningkat sebesar 33,6 persen per bulan dan dampak positif lainnya. Dengan efek pengganda itu, MBG relevan untuk tetap dilaksanakan. Namun, perlu dirasionalkan dalam beberapa aspek di atas.

Juga tak ketinggalan pada aspek eksekusi. Di sini nampaknya BGN perlu belajar pada Ignatius Jonan, si tangan dingin. Bagaimana ketegasan, kedisiplinan dan kepemimpinannya mengubah wajah kereta api Indonesia seperti sekarang.

Atau bila ingin cepat, ia perlu dipanggil untuk memimpin BGN. Tentu bila Presiden mau dan Jonan bersedia.

Firdaus Putra HC Komite Eksekutif ICCI

Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2025/09/29/05223631/merasionalkan-mbg-membenahi-bgn?page=all#page2

Tags: Makan Siang Bergizi
Kampung Cendekia

Kampung Cendekia

Artikel Terkait

Perbaikan Tata Kelola Radikal, Jalan Selamat MBG
Pojok Literasi

Perbaikan Tata Kelola Radikal, Jalan Selamat MBG

Oktober 1, 2025
Mau MBG Sukses? Harus Berkeringat dan Belepotan Tangannya, Pak Presiden!
Pojok Literasi

Mau MBG Sukses? Harus Berkeringat dan Belepotan Tangannya, Pak Presiden!

Oktober 1, 2025
Komunikasi Prabowo Membela Islam
Pojok Literasi

Komunikasi Prabowo Membela Islam

September 28, 2025
Prabowo, PBB, dan Jalan Tegak bagi Palestina Merdeka
Pojok Literasi

Prabowo, PBB, dan Jalan Tegak bagi Palestina Merdeka

September 27, 2025
Senja yang Tak Pernah Padam, Tetap Menyala
Pojok Literasi

Senja yang Tak Pernah Padam, Tetap Menyala

September 19, 2025
Paguyuban Pasundan Penggerak Jatidiri Peradaban Sunda
Pojok Literasi

Paguyuban Pasundan Penggerak Jatidiri Peradaban Sunda

Juli 21, 2025
Next Post
Mau MBG Sukses? Harus Berkeringat dan Belepotan Tangannya, Pak Presiden!

Mau MBG Sukses? Harus Berkeringat dan Belepotan Tangannya, Pak Presiden!

ArtikelTerbaru

Perbaikan Tata Kelola Radikal, Jalan Selamat MBG
Pojok Literasi

Perbaikan Tata Kelola Radikal, Jalan Selamat MBG

by Kampung Cendekia
Oktober 1, 2025
Mau MBG Sukses? Harus Berkeringat dan Belepotan Tangannya, Pak Presiden!
Pojok Literasi

Mau MBG Sukses? Harus Berkeringat dan Belepotan Tangannya, Pak Presiden!

by Kampung Cendekia
Oktober 1, 2025
Merasionalkan MBG, Membenahi BGN
Pojok Literasi

Merasionalkan MBG, Membenahi BGN

by Kampung Cendekia
Oktober 1, 2025

Media online yang menyajikan berbagai konten dalam rangka turut mewujudkan pembangunan masyarakat cerdas, religius, sehat dan peduli lingkungan sebagai landasan penting dalam mewujudkan kehidupan sosial yang harmonis dan berdaya saing tinggi

  • Tentang Kami
  • Kontak

© 2025 Kampung Cendekia

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Pustaka
  • Video
  • Artikel
    • Magrib Mengaji
    • Peduli Lingkungan
    • Kerukunan Beragama
    • Kesehatan Holistik
    • Bersih Narkoba
    • Pembauran Kebangsaan
    • Pemberdayaan UMKM
  • Pojok Literasi
  • Info

© 2025 Kampung Cendekia

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In