Maulid Nabi Muhammad SAW bukan hanya perayaan kelahiran seorang utusan Allah, melainkan momentum untuk menghidupkan kembali misi besar beliau sebagai rahmatan lil ‘alamin. Rasulullah diutus untuk menebar kasih sayang, menegakkan keadilan, dan mempersatukan umat manusia di tengah keberagaman.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, peringatan maulid seyogianya menjadi ruang untuk mempertegas komitmen terhadap kerukunan umat beragama serta persatuan kebangsaan. Untuk mewujudkan islam yang penuh rahmat bagi alam semesta dan islam yang berkemajuan dalam bingkai NKRI
Al-Qur’an menegaskan, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya [21]:107). Ayat ini mengingatkan, risalah Nabi melampaui sekat agama, etnis, maupun bangsa. Kehadirannya justru menjadi payung kesejukan bagi seluruh insan.
Rasulullah tidak hanya menuntun umatnya dalam ibadah, tetapi juga menunjukkan bagaimana membangun masyarakat yang maju, sehat, adil, dan damai. Spirit itu sangat relevan di tengah tantangan kebangsaan hari ini, ketika kolaborasi untuk kebaikan kerap kalah oleh kepentingan sektoral kelompok, partai dan perbedaan lainnya.
Indonesia hari ini memerlukan semangat yang sama. Krisis lingkungan, polarisasi sosial, hingga tantangan ekonomi tidak bisa ditangani secara parsial. Kita membutuhkan kerja bersama lintas sektor: pemerintah, akademisi, tokoh agama, komunitas lokal, hingga generasi muda.
Salah satu langkah monumental Rasulullah adalah lahirnya Piagam Madinah. Dokumen itu bukan sekadar perjanjian politik, tetapi kontrak sosial yang mengikat berbagai komunitas,Muslim Yahudi dan Nasrani untuk hidup damai, saling melindungi, dan menegakkan keadilan. Inilah prototipe awal konstitusi modern yang mengakui hak dan kewajiban warga, tanpa diskriminasi berdasarkan keyakinan.
Tidak hanya itu, Rasulullah juga memberi teladan nyata dalam melindungi non-Muslim. Dalam sebuah hadis beliau bersabda, “Barang siapa menyakiti seorang zimmi (Nonuslim yang tidak memerangi umat Muslim), maka sungguh dia telah menyakitiku. Barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.”
Hadis ini menunjukkan betapa kuat komitmen Nabi terhadap hak asasi setiap manusia, bahkan mereka yang berbeda keyakinan. Nabi menegaskan bahwa darah, harta, dan kehormatan non-Muslim yang hidup damai bersama kaum Muslimin adalah sesuatu yang harus dilindungi.
Dalam situasi sosial yang kerap dirundung polarisasi, maulid Nabi memberi inspirasi agar umat Islam menjadi pelopor perdamaian. Meneladani akhlak Rasul, bermakna umat beragama ditantang untuk memperkuat simpul kebangsaan, bukan memperlebar jurang perbedaan.
Jika Piagam Madinah mampu menjadi jembatan keberagaman di Jazirah Arab abad ke-7, maka Indonesia masa kini pun dapat menjadikannya teladan. Perayaan maulid Nabi bukan hanya ritual seremonial, melainkan titik tolak memperbarui komitmen kebangsaan: menjaga kerukunan, melindungi sesama tanpa melihat agama, menolak ujaran kebencian, dan menebar kasih sayang lintas iman.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu hidup harmonis di tengah perbedaan. Dengan meneladani Rasulullah, umat beragama di Indonesia dapat bersama-sama memelihara persatuan. Dari maulid Nabi, dari Piagam Madinah, hingga Pancasila—kita belajar bahwa harmoni adalah jalan peradaban.
Rasulullah SAW sendiri memberi contoh nyata. Ketika tiba di Madinah, beliau tidak memaksakan homogenitas, melainkan membangun kolaborasi antar-komunitas melalui Piagam Madinah. Muslim, Yahudi, Nasrani, dan kelompok lainnya disatukan dalam kesepakatan bersama untuk menjaga keamanan, keadilan, dan kesejahteraan kota.
Teladan Nabi menunjukkan bahwa kolaborasi bukan sekadar pilihan strategi, melainkan kebutuhan mendasar. Seorang individu mungkin bisa berbuat baik, tetapi kebaikan yang berdampak luas hanya terwujud jika kita mau dan mampu bersinergi dan berkolaborasi untuk kemaslahatan bersama.
Kebaikan kolektif hanya bisa terwujud bila setiap orang bersedia menyingkirkan ego, dan menggantinya dengan semangat gotong royong. Dari teladan Nabi, kita belajar bahwa membangun peradaban adalah proyek kolaboratif: antara iman dan ilmu, antara agama dan kemanusiaan, bahkan diantara perbedaan yang dirajut menjadi harmoni.
Kampung Cendekia, adalah contoh konkret semangat kolaborasi lintas unsur di kota Cimahi. Program yang diinisiasi awal ICMI orda Cimahi, selanjutnya di deklarasikan menjadi program milik semua. Lahir dari kerja bersama unsur akademisi, tokoh masyarakat, pemerintah, dan komunitas untuk membangun ruang silaturahmi, ruang belajar dan pemberdayaan masyarakat.
Mulai dari literasi pendidikan melalui revitalisasi program magrib mengaji, penguatan literasi, promosi kesehatan holistik, hingga pengelolaan lingkungan, semua dilakukan dengan prinsip gotong royong. Tidak ada satu pihak yang mendominasi; justru kekuatan hadir karena masing-masing unsur memberikan kontribusi sesuai kapasitasnya.
Inilah cermin kecil bagaimana nilai kolaborasi ala Piagam Madinah diterjemahkan di Indonesia masa kini. Sebagaimana Rasulullah melindungi dan merangkul semua golongan di Madinah, Kampung Cendekia memperlihatkan bahwa keberagaman keahlian dan latar belakang justru menjadi modal besar untuk membangun masyarakat yang lebih sehat dan mandiri.
Maka, merayakan Maulid Nabi sejatinya bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi menghidupkan kembali urgensi kolaborasi untuk masa depan. Dari Madinah abad ke-7 hingga kampung-kampung di Indonesia abad ke-21, pesan itu tetap sama: kebaikan hanya akan menjadi besar bila diperjuangkan bersama.
Kampung Cendekia tidak datang untuk mereduksi atau menghilangkan program yang telah ada dan berjalan sebelumnya. Justru semangatnya adalah saling melengkapi, memperkuat, dan merajut berbagai inisiatif agar maslahat yang lahir menjadi lebih besar. Dengan cara ini, program yang mungkin sebelumnya berjalan sendiri-sendiri bisa terintegrasi, saling mendukung, dan menghasilkan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
Cimahi punya modal sosial yang besar. Gotong royong yang masih hidup, kearifan lokal yang kuat, dan semangat warganya untuk belajar. Dengan meneladani Nabi, energi itu bisa disalurkan menjadi gerakan kolaboratif yang terukur. Kampung Cendekia adalah salah satu embrio; bahwa kota kecil pun bisa bermimpi besar: menjadi kota peradaban yang mencerdaskan, menyehatkan, dan memuliakan manusianya.
Maulid Nabi bukan sekadar perayaan, melainkan undangan untuk menyalakan suluh kolaborasi peradaban. Dari cahaya Madinah di abad ke-7 hingga denyut Cimahi di abad ke-21, pesan itu tak pernah pudar: iman yang menghidupkan jiwa, ilmu yang menerangi akal, amal yang memuliakan sesama, dan kolaborasi yang membawa kesejahtraan. Merayakan maulid Nabi berarti menghidupkan warisannya: membangun kebaikan bersama demi masa depan yang lebih terang. Semoga !
Dr. Eki Baihaki, M.Si.
Dosen Pascasarjana UNPAS, Pengurus Forum Pembauran Kebangsaan Jawa Barat dan Wisesa Utama Bela Negara