Sore hari menjelang tujuh belas agustus, saya WA Kang Didin Tulus, budayawan Cimahi untuk membaca puisi di acara open house kebangsaan Kampung Cendekia di Smart Garden di momentum upacara 17 Agustus 2025, beliau hadir dengan penuh sukacita.
Kang Didin Tulus, dengan suaranya yang dalam saat melantunkan puisi Ayip Rosidi menjadi getar yang menembus ruang batin. Setelahnya, saya mendapatkan energi inspiratif yang menyala, untuk merangkai tulisan ini—sebuah refleksi tentang kemerdekaan, kebudayaan dan peradaban.
Di tengah gelombang perayaan merah-putih, kita cenderung mengukur kemerdekaan lewat infrastruktur, angka ekonomi, atau monumen monumental. Sejatinya kemerdekaan yang hakiki juga diuji dalam kemampuan sebuah bangsa merawat akar-akar budayanya, bahasa, adat, alam, dan kasih sayang antarmanusia dan kasih sayang terhadap alam semesta.
Puisi Ayip Rosidi berjudul Tanah Sunda hadir sebagai pengingat akan sejumlah narasi makna budaya dalam : kecintaan pada tanah leluhur bukan sekadar sentimen etnis, melainkan pondasi kemerdekaan kultural yang memperkaya jati diri kebangsaan.
Ayip Rosidi, sastrawan dan budayawan yang lekat dengan dunia Sunda, menulis dari pengalaman seorang anak kampung yang menyaksikan bagaimana bahasa, tradisi, dan lanskap membentuk cara manusia berpikir dan berperilaku. “Kuring téh anak Sunda,” kata Ayip dalam sejumlah pernyataannya sebuah pengakuan identitas yang menghendaki tanggung jawab: menjaga bahasa, menghormati adat, dan merawat alam sebagai amanah bersama.
Dalam momentum 80 tahun merdeka, bacaan atas Tanah Sunda layak ditempatkan bukan sebagai nostalgia semata, melainkan sebagai narasi peta politik kebudayaan: bagaimana kearifan lokal menjadi modal nasional, berikut catatan reflektif .

Pertama, identitas lokal sebagai fondasi nasional. Merawat tanah Sunda bukan berarti menutup diri pada pluralitas bangsa. Justru sebaliknya: akar lokal yang kuat membuat pohon kebangsaan lebih kokoh. Bung Karno pernah mengingatkan agar kita tidak melupakan sejarah—Jas Merah—karena identitas kolektif tumbuh dari ingatan bersama. Dalam perspektif Paguyuban Pasundan Kita semua atau “Kuring” hakekanya adalah Sunda, baik sunda pituin dan sunda mukimin.
Ketika bahasa daerah dipinggirkan, ketika tradisi diperdagangkan tanpa kepala nurani, yang hilang bukan sekadar kosa kata atau ritual, tetapi sumber daya imajinasi yang memberi makna pada kemerdekaan sehari-hari. Di sinilah tugas negara dan masyarakat untuk memberi ruang bagi pendidikan kebudayaan dan revitalisasi bahasa daerah sebagai bagian dari kurikulum kehidupan berbangsa.
Kedua, tanah sebagai ekologi moral. Ayip membaca tanah sebagai ibu yang memberi; kalau demikian, menjaga tanah adalah kewajiban etik. Al-Qur’an dengan tegas melarang kerusakan: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya” (QS Al-A‘rāf [7]:56). Prinsip ini relevan dengan tantangan dan ancaman kota-kota saat ini yang menghadapi masalah sampah, pencemaran, dan degradasi ruang hidup. Kampanye “merawat tanah”, “pilah dan olah sampah”, “konservasi mata air”, bukan hanya praktik lingkungan, tetapi juga penegakan amanah dari sang maha pencipta Allah SWT.
Ketiga, nilai-nilai sosial—silih asah, silih asih, silih asuh—sebagai roh peradaban. Kearifan Sunda merangkum etika saling menguatkan dan saling mencerahkan. Nilai yang sangat dibutuhkan oleh kota modern: solidaritas dengan yang lemah, pendidikan yang inklusif, perhatian pada lansia dan anak-anak. Ayip Rosidi menulis puisi tentang tanah sunda, kita dibawa pada suasana komunitas yang merawat anggotanya.
Di usia 80 tahun Indonesia, tema inklusi harus menjadi pusat kebijakan: pendidikan yang tidak meninggalkan anak-anak marginal; layanan kesehatan yang menjangkau semua; pencegahan narkotika yang mengedepankan rehabilitasi dan empati, bukan sekadar hukuman. Prinsip Islam—lā ḍarar wa lā ḍirār (tidak boleh menimbulkan bahaya)—menguatkan pendekatan yang humanis ini.

Keempat, sinergi pentahelix sebagai mekanisme operasional. Ide lokal perlu saluran terstruktur agar berdampak luas: akademia memberi kajian, pemerintah memberi regulasi dan fasilitasi, komunitas menjadi pelaksana, bisnis menyediakan dukungan dana, dan media mengangkat narasi perubahan.
Platform seperti “Kampung Cendekia” yang menggabungkan unsur-unsur tersebut bisa menjadi laboratorium bersama bagi implementasi gagasan , menghidupkan dan mereaktualisasi kearifan local di ruang belajar sekolah dan masyarakat untuk menumbuhkan budaya gotong royong, melawan materialisme, nafsu konsumtif dan hedonis yang mengeksploitasi kerusakan alam.
Kemerdekaan kultural menuntut keberanian menyuarakan kebaikan. Nabi Muhammad SAW menegaskan nilai kemanusiaan dalam dimensi sosial: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Ditengan manusia saat ini yang gemar saling mencela bahkan saling meniadakan.
Kalau puisi Ayip mengajarkan kecintaan pada tanah, maka cinta itu harus bermuara pada manfaat: pendidikan yang membuka kesempatan, lingkungan yang memberi kehidupan, dan masyarakat yang peduli satu sama lain.

Perayaan 80 tahun kemerdekaan bukan hanya kesempatan memajang bendera, tetapi juga merenungkan: sejauh mana kita menjadikan nilai-nilai lokal sebagai sarana memperdalam kualitas kemanusiaan, demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan untuk semua.
Dalam praktik kebijakan sehari-hari, langkah-langkah konkret tidaklah rumit tapi perlu konsistensi: menginternalisasi nilai-nilai kearifan lokal diruang sekolah dan ruang publik; untuk mendukung Cimahi kota peradaban. Puisi Tanah Sunda karya Ayip Rosidi mengajak kita berdiam sejenak, melakukan refleksi mencintai tanah dan air sebagai tindakan kolektif untuk meneguhkan kemanusiaan.
Momentum merayakan 80 tahun Indonesia merdeka, kita punya pekerjaan rumah besar bukan hanya meningkatkan angka-angka makro, tetapi memupuk akar kultural yang membuat kemerdekaan terasa di setiap kampung, setiap sekolah, dan setiap halaman rumah.
Mari gunakan momentum ini untuk menguatkan akar—sehingga pohon kebangsaan tak hanya tinggi, tetapi juga berbuah adil, mensejahterakan dan berkelanjutan bagi semua.
Dr. Eki Baihaki, M.Si. Dosen Pascasarjana UNPAS, pemerhati budaya dan Pembina Forum Taman Baca Cimahi.