Senja kehidupan sejatinya bukan penutup, melainkan cahaya temaram yang tetap menghangatkan. Usia hanyalah angka, sementara jiwa tetaplah sumber semangat yang akan tetap menyala.
Ucapan Djamari Chaniago saat diangkat menjadi Menko Polkam, “Umur saya 77 tahun, dan saya ingin menggunakan sisa umur yang Allah titipkan untuk mengabdi kepada bangsa dan negara.” mengulang amanat Presiden Prabowo, pesan sederhana, namun sarat makna : bahwa pengabdian tidak mengenal batas usia.
Ceu Popong tokoh Jawa Barat dengan senyum khasnya menuturkan, “Jangan panggil saya nenek atau ibu, cukup sebut Ceu Popong. Usia saya baru 87 tahun” memberi pesan semangat untuk berkarya. Di balik ucapannya, tersimpan hikmah: kemuliaan bukan terletak pada bilangan umur, melainkan pada kebermanfaatan yang ditorehkan.
Sejarah telah mencatat pemimpin besar dunia kerap tetap tegak di usia senja. Saat ini Presiden-presiden negara besar, seperti Amerika, Turki, India hingga Indonesia, telah melewati usia 70 tahun. Mahathir Mohamad menembus usia 100 tahun dan tetap hadir menyumbangkan pikiran. Usia tidak memenjarakan, justru menghadirkan kedewasaan dan kebijaksanaan.
Buya Syafii Maarif hingga ahir hayatnya di usia 87 tetap menulis untuk menasihati bangsa. Begitu pula Prof. Emil Salim, saat ini usia 95 tidak lelah menyuarakan kepedulian lingkungan. Dan seniman WS Rendra, hingga napas terakhir, terus menyalakan api sastra. Dari mereka kita belajar, usia lanjut justru memperkaya makna karya dan ketulusan.
Nelson Mandela menutup hidupnya pada usia 95 tahun, meninggalkan jejak kebaikan yang dikenang dunia. Ia mengajarkan bahwa keberanian diri, pengampunan, dan keteguhan hati dapat mengalahkan kebencian dan penindasan yang terstruktur di Afrika Selatan.
Pesan inspiratif Nelson Mandela “Yang terpenting dalam hidup bukanlah sekadar fakta bahwa kita telah hidup. Melainkan, seberapa besar perbedaan yang telah kita buat bagi kehidupan orang lain yang menentukan makna hidup yang kita jalani.”. Karena pada akhirnya, yang abadi bukanlah bilangan tahun, melainkan jejak kebaikan yang ditinggalkan.
Mahatma Gandhi pernah berkata, “Hidup yang tidak digunakan untuk melayani sesama, adalah hidup yang sia-sia.” Di usia senja, kita justru menemukan bahwa kebahagiaan sejati tidak lagi diukur oleh seberapa banyak yang kita kumpulkan, melainkan seberapa dalam arti yang kita tinggalkan yang membuat orang lain bergembira.
Al-Qur’an mengingatkan dalam surah An-Nahl ayat 97: ““Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Rasulullah SAW pun bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR. Ahmad). Inilah pesan langit: bahwa semakin panjang usia, semakin luas pula ladang amal yang bisa ditabur, bukan sekedar hitungan panjang waktu tanpa manfaat.
Dalam konteks inilah, urgensi Sekolah Lansia di Kampung Cendekia inisiatif dan program kolaboratif bersama, insyaallah akan dimulai di bulan oktober 2025 menemukan pijakannya. Lansia tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sumber hikmah dan energi sosial yang akan memperkokoh jiwa bangsa.
Sekolah Lansia diinisiasi bukan sekadar ruang belajar, melainkan wahana kebersamaan: tempat memperdalam spiritualitas, menjaga kesehatan jiwa dan raga, mempererat silaturahmi, sekaligus menyalurkan pengalaman hidup kepada generasi selanjutnya yang dijalani dengan kebahagiaan lahir batin.
Usia senja bukanlah akhir perjalanan, melainkan puncak kebijaksanaan. Rambut memutih dan langkah melambat hanyalah tanda waktu, bukan alasan untuk berhenti menyala. Seperti matahari yang tetap indah menjelang tenggelam, jiwa manusia di penghujung usia justru bisa memancarkan cahaya paling hangat: cahaya pengabdian, cinta, ketulusan dan kebijaksanaan yang menuntun generasi berikutnya.
Pada akhirnya, yang abadi bukan bilangan tahun, melainkan jejak kebaikan yang kita tinggalkan. Dengan cara itu, usia senja tetap usia yang bahagia dan berdampak positif, di mana hidup tak sekadar dihitung, melainkan dirasakan, disyukuri, dinikmati dan diwariskan sebagai cahaya yang tetap menyala. Semoga
Dr. Eki Baihaki, M.Si.
Dosen Pascasarjana UNPAS, Inisiator Sekolah Lansia Cendekia Cimahi