Penulis : Dr. Eki Baihaki, M.Si
Dosen Pascasarjana UNPAS – Sekretaris ICMI orda Cimahi
“Kampung Cendekia bukan hanya tempat belajar, juga tempat merefleksikan nilai nilai peradaban dan membangun peradaban dari hal-hal kecil yang sering kita anggap remeh – seperti sampah.”
SAMPAH bukan hanya persoalan teknis keseharian, tetapi juga mencerminkan kesadaran dan spiritualitas manusia. Bagaimana seseorang memperlakukan sampah menunjukkan sejauh mana ia menghargai kebersihan, ketertiban, dan tanggung jawab terhadap sesama makhluk dan lingkungan.
Mengelola sampah semestinya tidak hanya didorong oleh aturan, tetapi juga dilandasi oleh nilai spiritual. Hadis Nabi menyebutkan, “At-thuhūru syatrul īmān” — kebersihan adalah sebagian dari iman. Bahkan membuang duri dari jalan dipuji sebagai amal yang dicintai Allah. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia adalah khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30) dan dilarang membuat kerusakan (QS. Al-A’raf: 56). Larangan israf (berlebihan) dan perintah untuk tidak merusak bumi.
Maka, pengelolaan sampah bukan hanya tindakan fisik, tapi bagian dari tanggung jawab spiritual.
Dalam ajaran Hindu dikenal prinsip Ahimsa (tidak menyakiti makhluk hidup), yang juga berlaku terhadap lingkungan. Umat Kristen memiliki kewajiban untuk melakukan apa pun yang mereka bisa untuk memastikan bahwa mereka bertanggung jawab terhadap lingkungan. Maka jika membuang sampah sembarangan dianggap “dosa ekologis”, hakekatnya adalah bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai iman.
Belajar dari Jepang, sampah adalah cermin etika, Jepang dikenal sebagai negara yang sangat bersih. Jalan-jalan di Tokyo, Osaka, dan Kyoto tetap rapi meskipun tempat sampah sangat sedikit. Rahasianya bukan pada teknologi, tetapi pada kesadaran kolektif yang dibentuk sejak kecil. Sampah adalah tanggung jawab pribadi setiap warga negara Jepang
Di sekolah-sekolah Jepang, anak-anak diajarkan untuk membersihkan kelas dan memilah sampah sendiri. Ini bukan sekadar pembiasaan, melainkan pendidikan karakter. Mereka mengenal konsep “mottainai” — ungkapan berdimensi spiritual yang berarti “sayang jika disia-siakan”. Prinsip ini membuat mereka enggan membuang makanan, barang bekas, bahkan energi secara berlebihan.
Bagi masyarakat Jepang, kebersihan adalah bagian dari kehormatan pribadi dan sosial. Membuang sampah sembarangan dianggap sebagai tindakan tidak bermoral. Di banyak daerah di Indonesia, sebenarnya sudah lama ada kearifan lokal dalam menjaga lingkungan. Di Sunda, dikenal ungkapan “resik, rapih, cageur, bener” — bersih adalah bagian dari hidup ideal.
Di Bali, filosofi Tri Hita Karana menekankan keharmonisan antara manusia dan alam. Di berbagai kampung, gotong royong membersihkan lingkungan adalah tradisi rutin. Namun sayangnya, modernisasi seringkali meminggirkan nilai-nilai ini. Kearifan lokal perlu dihidupkan kembali, disesuaikan dengan konteks kekinian, dan dijadikan bagian dari solusi pengelolaan sampah tuntas di tempat.

Mengelola sampah seharusnya bukan hanya tugas pemerintah semata, melainkan gerakan nilai dan kesadaran spiritual. Kita perlu membangun budaya bersih dari dalam — dari hati, dari iman, dari nilai-nilai hidup bersama yang dipraktekan.
Bayangkan jika setiap rumah tangga memilah sampah karena merasa itu bagian dari ibadah. Bayangkan jika setiap sekolah menjadikan “sampah” sebagai pendidikan karakter. Dan bayangkan jika masjid, gereja, pura, dan wihara menjadi pusat gerakan sadar sampah. Kita tidak hanya akan melihat lingkungan yang lebih bersih, tetapi juga masyarakat yang lebih beradab.
Krisis sampah yang kita hadapi hari ini bukan hanya masalah teknologi atau regulasi. Ini adalah krisis nilai. Sudah waktunya kita mengelola sampah bukan hanya dengan tangan, tapi juga dengan hati dan keyakinan. Karena sejatinya, cara kita memperlakukan sampah adalah cermin dari kualitas spiritualitas kita.
Sampah bukan sekadar urusan teknis atau masalah kebersihan lingkungan. Ia adalah cermin dari cara pandang, kesadaran, bahkan spiritualitas manusia terhadap kehidupan dan alam sekitarnya. Cara seseorang memperlakukan sampah menunjukkan sejauh mana ia memahami tanggung jawab moral dan etis sebagai bagian dari masyarakat dan ciptaan Tuhan.
Di balik tumpukan sampah yang tampak remeh, tersembunyi potret spiritualitas manusia. Ketika seseorang membuang sampah sembarangan, sesungguhnya ia sedang mencerminkan kealpaan terhadap tanggung jawab sosial dan spiritual. Sebaliknya, ketika seseorang memilah sampah, mengurangi konsumsi berlebihan, dan menjaga lingkungan, ia sedang menunjukkan ketakwaan dalam tindakan nyata.
Menghadapi krisis sampah dan kerusakan lingkungan, kita perlu melihat ke dalam: menggali kembali nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal yang menanamkan kesadaran ekologis. Kita tidak kekurangan contoh — baik dari dunia luar , maupun dari rumah kita sendiri seperti budaya Sunda, Bali, Baduy dan masyarakat adat lainnya.
Saat ini yang kita butuhkan adalah kemauan untuk menjadikan nilai spiritual yang berdimensi ekologis sebagai gaya hidup. Karena pada akhirnya, cara kita memperlakukan sampah adalah cerminan dari siapa kita, apa yang kita yakini, dan bagaimana kita bertanggung jawab terhadap masa depan anak cucu kita.