Oleh: Dr. Eki Baihaki, M.Si.
Dosen Pascasarjana UNPAS
TRAGEDI TPA Leuwigajah di Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005, adalah tragedi mematikan kedua terbesar di dunia setelah tragedi serupa di TPA Payatas Filipina pada 2000. Tragedi di TPA Payatas menewaskan lebih dari 200 orang. Sementara tragedi di TPA Leuwigajah yang meledak dan terjadi longsoran besar menimpa dua desa di Cimahi, yakni Cilimus dan Pojok, menewaskan 157 orang.
Tragedi Leuwigajah harus menjadi titik balik pembelajaran bagi semua pihak dalam pengelolaan sampah. Terlebih pihak pemerintah untuk mewujudkan kebijakan tata kelola yang lebih integratif dan kolaboratif yang menjadi problem utama kegagalan dalam tata kelola sampah selama ini. Apresiasi terhadap Wali Kota Cimah Ngatiyana dan wakilnya Adhitia Yudisthira berkolaborasi dengan akademisi menjadikan manajemen tata Kelola sampah tuntas di tempat (MPS3T) menjadi program prioritas seratus hari kepemimpinannya. Wali kota dan wakil wali kota harus menjadi integrator sumber daya solusi pengelolaan sampah secara kolaboratif menuju zero TPA.
Kejadian kelam terjadi 20 tahun silam pada pukul 02.00 WIB. Saat itu, TPA Leuwigajah yang menggunakan sistem open dumping diguyur hujan deras. Akibatnya, konsentrasi gas metana dalam tumpukan sampah meningkat sehingga gunungan sampah sepanjang 200 meter dan setinggi 60 meter di TPA Leuwigajah runtuh diikuti suara gemuruh besar. Bahkan terdengar hingga radius 10 kilometer.
Ribuan ton sampah terjun bebas dan menghantam dua permukiman penduduk yang berada di bawah TPA Leuwigajah. Ratusan warga Kampung Cilimus dan Kampung Pojok tak sempat menyelamatkan diri dan terkubur bersama ribuan ton sampah. Sampah yang ditumpuk di TPA dapat menyebabkan bahaya yang mengancam keselamatan dan kesehatan warga, apalagi jika pengelolaannya tidak terkontrol dengan baik.
Musibah harus menjadi pembelajaran tentang pentingnya pengelolaan sampah yang tidak hanya mengandalkan TPA, tetapi juga berbasis pada prinsip pengurangan, daur ulang, dan pemanfaatan sampah. Hasil kajian akademisi bersama DLH Kota Cimahi, secara teoritis sangat mungkin Cimahi “Zero to TPA” maksimal dalam dua tahun. Saat ini produksi sampah Cimahi mencapai 231 ton setiap harinya. Dari jumlah tersebut, yang dikirim ke TPA Sarimukti mencapai 97-100 ton setiap harinya. Sedangkan sisanya diolah dalam program optimalisasi 3 R. Untuk mewujudkan target nol persen sampah yang dibuang ke TPA, dibutuhkan kebijakan publik yang kuat, kejelasan konsep terstruktur dan sistimatis.
Pemimpin harus mampu mengintegrasikan program dan menghadirkan dukungan kolaborasi unsur pentahelix selain pemerintah dalam implementasinya. Perlu penguatan kembali larangan penggunaan kemasan air minum dan kantong plastik sekali pakai untuk mengurangi sampah plastik. Hal ini mencakup kantong belanja, kemasan makanan dan minuman, serta peralatan makan dan minum plastik sebagai gerakan kultural Cimahi “Zero to TPA”, diawali dari kantor Pemkot Cimahi. Kerusakan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari pandangan dan gaya hidup manusia modern yang terjebak paham hedonisme, materialisme, dan pragmatisme.
Perilaku yang berpotensi besar menghasilkan limpahan sampah tidak terkendali. Diperlukan ikhtiar besar semua komponen bangsa secara terstruktur, sistematis, dan masif, bahwa sampah adalah tanggung jawab bersama, tidak hanya unsur pemerintah, tetapi juga unsur akademisi, komunitas, media, dan bisnis untuk bersatu mengubah sampah dari bencana menjadi berkah. Tragedi Leuwipanjang telah dijadikan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) setiap 21 Februari. Untuk mengenang dan mengingatkan masyarakat dan semua komponen bangsa bahwa pengelolaan sampah harus menjadi perhatian utama agar tidak berkembang menjadi bencana.
Permasalahan sampah bukan saja karena volumenya yang terus bertambah seiring pertambahan jumlah penduduk. Terbatasnya lahan sebagai TPA juga menjadi masalah. Kondisi TPA di kabupaten/kota di Indonesia sebagian besar bermasalah, karena melebihi kapasitas, mengalami kebakaran, pencemaran air tanah, udara, bau, dan sebagainya. Data Kementerian Lingkungan Hidup 2024, volume sampah di Indonesia di 309 kabupaten/kota se-Indonesia mencapai 33,5 juta ton per tahun. Sedangkan sampah yang dikelola baru sekitar 20 juta ton per tahun atau 59,82 persen dan yang belum terkelola mencapai 13,5 juta ton per tahun atau 40,18 persen.
Tren timbunan sampah dari dari tahun ke tahun yang tidak tertangani terus naik. Hal itu berpotensi menjadi bencana kalau tidak ada langkah besar untuk melakukan tata kelola yang baik dan masif. Secara mendasar harus ada perubahan paradigma pengelolaan sampah dari “Kumpul-Angkut-Buang” menjadi “Pilah-Manfaatkan-Tuntaskan”, sehingga tidak lagi memandang sampah sebagai sesuatu yang tidak berguna dan harus dibuang. Sampah mesti dipandang sebagai bahan/sumber daur ulang sehingga bisa menjadi berkah bagi kita semua. Memilah sampah menjadi hal penting yang harus dilakukan dalam pengelolaan sampah. Saat ini masyarakat masih sedikit yang mau melakukan pemilahan.
Penghasil sampah domestik dan industri belum sepenuhnya memiliki rasa tanggung jawab melakukan pemilahan sampah dan mengolahnya. Cimahi harus menjadi “Banyumas” versi Jawa Barat sebagai kabupaten/kota yang berhasil dan menjadi rujukan tata kelola sampah tanpa TPA, dengan optimalisasi 3 R, yaitu prinsip pengurangan, daur ulang, dan pemanfaatan sampah.
Hanya residu yang tidak termanfaatkan dibakar dengan incinerator ramah lingkungan. Keberhasilan optimalisasi 3 R juga akan menjadikan residu yang dibakar semakin berkurang. Gerak cepat Cimahi tuntaskan sampah (Gercep Citas) semoga dapat berjalan baik sesuai roadmap yang dibuat. Harus menjadi komitmen kuat seluruh komponen strategis masyarakat Cimahi atasi sampah dari sumbernya, di bawah komando kuat dari wali kota dan wakil wali kota. Semoga!