Kasunyataan prinsip komunikasi bahwa sebuah pesan komunikasi tidaklah mudah dihapus, kiranya masih tetap relevan puluhan tahun sejak pertama begawan komunikasi, Josep De Vito, menuliskannya. Bukan karena aktor komunikasi (komunikator dan komunikan) tak bertambah cerdas, tapi hukum “besi” komunikasi ini memang selalu aktual apapun zamannya.
Pengalaman penulis menjadi Asisten Manajer Media Center PON dan Peparnas di Jawa Barat sembilan tahun silam, adalah yang pertama “menampar” keras sekaligus berbekas kuat hingga sekarang, dari prinsip tersebut. Benar-benar apa yang dijadikan premis De Vito tadi terus valid dengan amat sulit dibantah premisnya. Saat itu, ada enam pertandingan yang memicu kericuhan dari total 754 pertandingan. Tak hanya di lapangan, tapi juga berulang ramai di media sosial (otomatis juga di media massa). Hanya belum ada istilah viral/trending saja.
Sorot mata kala itu banyak menyorot keributan terutama di enam cabor: sepakbola, gulat, wushu, tinju, anggar, dan polo air.
Namun, eskalasinya sampai memantik kicauan Menpora saat itu, Imam Nahrawi, di akun Twitter miliknya. “#PON2016 punya tagline bagus; Berjaya di Tanah Legenda. Kejarlah kejayaan dg jalan yg benar. Jangan Curang di Tanah Legenda” tulis akun @imam_nahrawi, 20 September 2016.
Tentu sangat menohok bagi penulis karena sudah berjibaku persiapkan Media Center setahun sebelum pelaksanaan, dengan puncak pelaksanaan ada sekira 3.000 jurnalis nasional dan Asia Tenggara yang harus dilayani 24/7 selama dua pekan. Ini sangat menjatuhkan mental panitia pelaksana karena Menpora jelas pelindung hajat olahraga nasional, apalagi sekaliber PON dan Peparnas. Meski belakangan kicauan itu direvisinya, dan hanya enam kericuhan dari 754 pertandingan pada 44 cabor (0,007 persen saja), the damage has been done! Citra rusak parah hingga ralat kicauan itu tetap tak bisa menarik persepsi terlanjur banyak masyarakat Indonesia bahwa PON Jabar adalah kacau dan penuh curang.
Penulis sebagai aktor komunikasi di Media Center pun terus berusaha imbangi keruwetan imaji dengan menggenjot produktivitas hardnews dengan sebaran rilis di hari itu juga. Tak lupa diselingi membuat rilis softnews yang penuh minat insani maksimal dikirim H+1 pertandingan. Apa daya, citra kadung hancur; Panitia tetap dinilai tak becus imbas 0,007 kericuhan yang “dibakar” kicauan pejabat publik tadi!
Kisah serupa MBG Di mata penulis, MBG (Makan Bergizi Gratis) hari ini nyaris bernasib setali tiga uang. Pesan komunikasi yang menempel di benak publik, baik citizen apalagi netizen, tak pernah berhenti memburuk. Plus bumbu terbaru pengacaunya adalah ditariknya kartu khusus jurnalis di Istana Negara milik jurnalis CNN Indonesia.
Sekalipun ID Card khusus tersebut kini dikembalikan, amatan penulis, masyarakat kadung tak mudah mengikis stempel buruk. Hingga aneka plesetan muncul sebagaimana terlihat dalam karikatur Si Timun di Harian Kompas edisi Minggu 28 September 2025: Makanan Bermasalah Gak?, Makanan Berbahaya? Gawat!, Makanan Buat Guru?, dan Masa Bisa Gitu Sih!! Pesan komunikasi pemulih dan penyeimbang, tentu sudah gencar diberikan. Masih ingat antara lain tangisan Wakil Ketua Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S. Deyang saat konfrensi pers akhir pekan lalu?
Tak lupa disematkan misi propetik dalam kegiatan ini: Tak sekadar cari cuan, tapi juga pahala membantu kaum papa. Palu godam communication is irreversible kemudian mengunci sejumlah fakta serupa di PON-Peparnas Jabar tadi. Bahwa dari 31 juta penerima manfaaat MBG periode Januari-September 2025, total insiden sesungguhnya “hanya” 0,0017 persen (71 insiden melibatkan 6.000 siswa keracunan merata di sejumlah daerah, terbanyak di Jawa Barat).
Tanpa bermaksud meremehkan korban, fakta baik dari MBG tak bisa dibantah. Tetap jauh lebih banyak makan gratis bergizi yang aman diakses siswa, bahkan guru, staf TU, dan satpam sekolah. Apakah kemudian sisi ini akan lebih banyak diangkat jurnalis, netizen, termasuk influencer? Dengan 31 juta yang mayoritas menerima MBG dalam kondisi sesudahnya baik-baik saja, apakah ini juga akan jadi kacamata penyeimbang bahwa sudah ada upaya pemerintah menurunkan prevalensi stunting nasional tahun 2024 yang masih berada di angka 19,8 persen dari populasi balita/sekitar 4,48 juta anak. Pun demikian, dengan fakta dari UNICEF bahwa dua dari lima anak di bawah usia lima tahun tidak menerima jumlah kelompok makanan yang direkomendasikan.
Mirisnya lagi, lebih dari 95 persen anak serta remaja tidak mengonsumsi buah dan sayur sesuai anjuran Badan Pendidikan United Nations tersebut. Selain itu, riset credible, antara lain, dari firma ekonomi terkemuka, Indef, akhir tahun lalu menyebutkan, alokasi MBG sebesar Rp 71 triliun tahun 2025 ini dapat mendorong pertumbuhan PDB 0,06 persen/sebesar Rp 14,61 triliun PDB harga berlaku tahun ini.
Lalu, akan terjadi peningkatan rata-rata 3 tenaga kerja pada UMKM yang terlibat MBG di 10 kota/kabupaten. UMKM terlibat bisa mendapatkan rata-rata kenaikan pendapatan bersih per bulan 33,68 persen, dan mitra pengemudi MBG mendapatkan kenaikan pendapatan bersih 17 persen. Jadi, jika kemudian ditambah data padat lainnya, semisal muncul 290.000 lapangan kerja baru di 5.800 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pada 38 provinsi, dengan pemberdayaan estimasi 1 juta petani, nelayan, peternak, dan pelaku UMKM, bisakah pudar pesan komunikasi tak baik yang kadung tercetak di benak khalayak?
Langkah perbaikan ke depan Jawabannya: Tentu bisa pudar! Pertama dan utama adalah menghentikan sementara MBG untuk ditelisik titik lemah sekaligus titik kuatnya. Jangan malu atau gengsi untuk merunduk sejenak guna melompat seribu langkah. Apakah benar bahwa kasus keracunan 0,0017 persen itu karena semata-mata pengelola dapur banyak yang tak pengalaman?
Jika iya, apa menjadi tidak ganjil dengan jajaran pimpinan BGN yang dominan purnawirawan polisi dan militer –notabene tak berpengalaman panjang dalam pengadaan katering massal? Bagi penulis, MBG tak bisa disamakan dengan bidang garapan di banyak instansi yang kini “trending” diduduki polisi dan tentara juga. Sebab, kompetensi manajerial dan jam terbang (di bidang militeristik) saja tidak cukup. Katering massal dan tiap hari jelas perlu tenaga teknis urusan perut yang mumpuni.
Tak hanya dipimpin para bintang aparat, tapi juga harus ada bintang kuliner. Tak hanya urusan distribusi diurus, pimpinan BGN juga harus paham berapa lama durasi tumis sayur, berapa lama sebaiknya daging disimpan dalam freezer, hingga memandu bagaimana cara masak ribuan telor ceplok dalam durasi singkat, tapi higienis. Sekira hasil evaluasi sementara menunjukkan susunan organisasi BGN keberatan bintang-bintang, maka Prabowo jangan sungkan menggeser mereka yang tak cakap. Seperti saat menggeser Mendikti Ristek Satryo Brodjonegoro dan Menteri Perlindungan Pekerja Migran Abdul Kadir Karding tak lama setelah mereka terindikasi berulah. Pendekatan sama harus dilakukan pada mitra pengelola dapur dari anggota Dewan. Terlebih jika sesama Partai Gerindra.
Kemudian, dari sisi komunikasi publik, pembenahan berikutnya adalah apa yang sudah banyak dilakukan Sang Presiden dalam Goverment Public Relations (GPR) selama 11 bulan ini, sejatinya itu juga yang bisa men-counter pameo komunikasi De Vito tadi. Ketika melihat Hasan Nasbi tak cukup berempati ke jurnalis, Prabowo lalu memberi mandat juru bicara kepada Mensesneg Prasetyo Hadi.
Saat kerusuhan akhir Agustus merebak, tak sekali-dua kali Prabowo undang elemen masyarakat lintas organisasi berdiskusi. Dicarikan apa yang jadi picu kerusuhaan masyarakat melalui komunitas, lalu kemudian dirembukkan dengan ketua parpol untuk selanjutnya diumumkan sejumlah pembatalan tunjangan DPR pemicu cemburu sosial. Maka, langkah riil pembenahan komunikasi ke depan MBG bisa dilakukan dua poin.
Pertama, saat krisis sorotan terjadi, Prabowo harus ambil inisiatif menjadi komunikator terdepan. Alih-alih meminta Juru Bicara atau Kepala BGN, RI 1-lah yang menerangkan seluruh situasi kondisi terkait MBG kepada masyarakat.
Data penting keracunan 0,0017 persen yang disampaikan Presiden RI, Senin (29/9), harusnya efektif. Teknik ini tak pernah sebelumnya disampaikan Kepala BGN dan atau Humasnya, juga jubir eksisting baik Mensesneg, Kepala PCO, hingga Ketua Harian Partai Gerindra. Jadi, data/info mahapenting harus langsung oleh orang paling penting. Prabowo juga menyampaikan MBG sejenis di Brasil (Programa Nacional de Alimentação Escolar/PNAE), menjangkau 42 juta dalam 11 tahun.
Sementara MBG sudah menjangkau 31 juta dalam 11 bulan. Data keras dan penting ini hanyalah bisa disampaikan seorang Presiden RI karena baru berkegiatan sesama pemimpin negara dalam Sidang Umum PBB, baru-baru ini.
Bahasa sederhananya, jika tahu program ini terus disorot, jika konsep pesan komunikasi itu umumnya tak bisa ditarik, maka haruslah dikendalikan seutuhnya pimpinan tertinggi di negeri ini. Komunikasi krisis jelas perlu hands-on yang kuat, dan dengan sendirinya akan bertambah kadar krisis jika dipercayakan ke jabatan di bawahnya.
Kedua, diskusi intens dengan kelompok masyarakat terkait MBG juga perlu ditingkatkan Presiden Prabowo sebagaimana dilakukannya dalam meredam bara rusuh akhir Agustus lalu. Singkatnya, perlu ada keseriusan membenahi tata kelola dengan pause dahulu program untuk evaluasi. Lalu, digenapi menangani dan meningkatkan diskusi, keinginan memberi pemahaman atas rencana kerja pada khalayak utama GPR.
Benar-benar turun tangan sendiri mensukseskan MBG yang masih harus berjuang keras capai target 82 juta penerima manfaat di akhir tahun ini. Singkat kata: Harus mau berkeringat dan belepotan tangannya, Pak Presiden!
Muhammad Sufyan Abd
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2025/10/01/08432641/mau-mbg-sukses-harus-berkeringat-dan-belepotan-tangannya-pak-presiden?page=3